13 February 2015


“ Hay, aku Reza. Kelas IX A. Kamu menangis kenapa?”
“ Aku tak apa-apa. Kamu kelas IX A aku baru lihat kamu?”
“ Karena kamu jarang main ke kelas IX. Jadi kamu baru tau aku.”
Tiba – tiba dadaku rasanya sakit sekali, kepalaku pusing, hidungku mimisan. Waktu aku mencoba berdiri aku merasa persendianku kaku. Reza mencoba menolongku. Tapi mataku mulai gelap dan tak melihat apa – apa lagi. Saat aku sadar aku sudah berada di Rumah Sakit dengan impus ditanganku serta oksigen yang terpasang dihidungku. Ayah dan Ibu berada disamping kananku menanti dengan harap – harap cemas. Ingin rasanya aku bicara tapi ada yang aneh saat ingin bicara tenggorokanku sakit sekali. Aku mencoba memanggil ibu dengan lirih.
“ Ibu...” seketika air mataku jatuh.
“ Dea. Kenapa Dea menangis?” Bertanya dengan cemas.
“ Ibu... sakit.” Sambil memegang tenggorokanku.
“ Iya sebentar Ibu panggilin dokter.”
Ayah juga terlihat sangat cemas. Melihat kondisiku dengan wajah pucat dan bibirku yang kering. Dia memelukku dengan erat. Ku lihat wajah Ayah dan saat itu juga air mata ayah jatuh. Ya Tuhan apakah Ayah menangis? Tak lama dokter pun datang lalu Ayah merebahkan tubuhku kembali. Dokter memeriksaku setelah selesai dokter meminta Ayah untuk keruangannya.
“ Silahkan duduk pak Dito.”
“ Iya, dok. Sebenarnya anak saya sakit apa ya dok?”
“ Yang sabar ya pak. Anak bapak mengidap penyakit radang paru – paru.”
“ Astagfirulah. Deandra...”
Perasaan ayah seperti berkecamuk mendengar penjelasan dari Dokter. Saat masuk keruanganku. Wajah ayah terlihat sangat cemas. Langkahnya seperti orang bimbang. Dia mengajak Ibu berbicara diluar agar aku tak dengar. Setelah mendengar penjelasan dari Ayah, tingkah laku Ibu menjadi sama seperti Ayah. Aku mencoba bertanya pada Ibu.
“ Ibu.”
“ Ia sayang. Ada apa?”
“ Dea sakit apa? Kenapa Ayah dan Ibu terlihat cemas?”
“ Dea gak apa –apa kok. 2 hari lagi juga uda pulang. Sekarang Dea istirahat ya.”
Pagi ini Reza datang menjengukku. Dia membawakanku buah dan bilang “ Cepat sembuh ya.” Dia langsung duduk disampingku. Sosok Reza sangat perhatian, dia menanyakan aku sakit apa, uda minum obat belum dan candanya membuat aku senyum. Aneh rasanya, aku baru mengenalnya kemarin tapi terasa sangat akrab dengan Reza.
“ De, lo kapan pulang?”
“ Besok, kata dokter.”
“ Oh, lo mau makan buah, gue kupasin ya.”
“ Boleh.”
Tak hanya mengupaskan buah untukku dia juga menyuapiku. “ Reza, makasih ya sudah nolongin gue.” Mengucapkan terima kasih. “ Sama – sama, lo kok tau gue yang bawa lo ke RS?”. “ Ibu yang bilang.”
Seharian Reza nemenin aku di RS, kami bercanda dan tertawa. Kehadiran Reza sedikit membuatku lupa dengan semua masalah yang menimpaku. Ibu dari tadi belum datang dan Ayah juga. Apa mungkin mereka lagi sibuk. Uda jam 15.00 WIB. Reza pamit untuk pulang karena uda sore.
“ Gue balik ya De. Uda sore... besok gue dateng lagi!”
“ Ya makasih ya Za... tapi besokkan aku uda pulang.”
“ Yauda besok gue datang kerumah lo aja. Bye.”
“ Bye.”
Uda hampir maghrib tapi Ibu sama Ayah belum datang juga. Kemana sih mereka? Uda tau anaknya sakit bukannya di jenguk malah sibuk sendiri. Mereka sayang gak sih sama aku? Tak berapa lama Ibu datang sendirian tanpa Ayah. “ Maaf  ya De, Ibu tadi banyak urusan. Kamu uda  makan?” kelihatannya Ibu lelah banget, meski dia lelah tapi dia seolah tak ingin aku mengetahuinya.
“ Ditanya kok malah bengong.” Ibu menyadarkan ku dari lamunan.
“ Uda, tadi Reza kemari. Dia yang nemeni aku seharian.”
“ Sorry ya De. Ibu tadi banyak urusan. Tapi bukan maksud Ibu biarin kamu sendirian.”
“ Emang penting banget urusannya dari pada aku?”
“ Jangan marah dong De. Tadi Ibu ngurus surat cerai.”
Aku hanya diam saja mendengar jawaban Ibu. Mereka tetap akan bercerai, mereka tetap tak peduli walaupun aku lagi sakit. Besok sidang perceraian akan berlangsung. Aku gak tau mesti ikut siapa nantinya... Kata Dokter besok siang aku sudah boleh pulang tapi harus Cek Up seminggu sekali. Aku bingung, sebenarnya apa penyakitku? Ibu tak pernah memberitahuku. Cukup berat bagiku untuk menghadapi ini semua.
------------*-----------
Jam 08.30 WIB. Ibu pergi menghadiri persidangan. “ Dea, Ibu pergi ya.” Aku hanya mengangguk.
Aku bosen dikamar terus. Aku ingin keluar, waktu suster dateng untuk mengecek ku. Aku minta dolong sama dia. “ Suster, aku pengen keluar. Bosen disini terus.” “ Yauda, sini suster bantu.” “ Makasih, Sus.” Suster mengantarkanku ke taman. Aku memintanya untuk meninggalkan kusendiri disini, dia mengiyakan. “ Nanti kalau ada apa – apa. Suster ada di ruangan sebelah sana.” “ Iya sus.” Di taman aku menyendiri tak ada orang satupun. Air mataku pun jatuh aku menangis sekuatnya disini.
“ Kenapa hars begini? Kenapa harus aku? Ini gak adil bagiku! Tuhan... kenapa harus aku yang merasakan ini. Kapan aku bisa bahagia?” Tanya ku dalam hati.
Tak henti – hentinya aku menangis meratapi nasibku. Suster menghampiriku. “ Dea, nenek kamu dateng menjemputmu. Ayo suster antar keruangan kamu.” “ Iya, sus.” Siang ini aku pulang kerumah. Tapi bukan Mama yang menjemputku melainkan nenekku.
Sampai dirumah dia membaringkan ku dikamar. “ Dea tunggu disini dulu. Nenek mau masak sup buat kamu.”
Tok... tok... tok... “ Sebentar ya, nenek tolong buka kan pintu.” Ternyata Reza yang datang nenek menyuruhnya masuk. “ Dea ada dikamarnya.” Reza kemudian mengetok pintu kamarku. Kemudian dia masuk. Dia membawakanku buah. Lalu kami bercerita – cerita.
Persidangan telah selesai hak asuh jatuh kepada Ibu. Sedangkan Ayah tinggal dirumah nenek. Sekarang aku tinggal dengan Ibu. Selesai persidangan Ayah menjengukku dirumah. Dia bilang samaku. Ayah akan tetap datang menemuiku. Itu bisa membuatku tenang.
------------*-----------
Berapa minggu telah berlalu ....
Jam 06.30 WIB. Aku bangun untuk mandi kemudian menyisir rambutku. Saat aku berkaca, tiba-tiba foto ku dngan ayah jatuh dan pecah. Perasaanku mulai resah dan gelisah.
Telepon rumah berbunyi “ Dea, tolong angkatkan teleponnya.” Aku kemudian turun kebawah untuk mengangkat telepon. Ternyata dari nenek.
“ Halo, ada apa nek?” suara nenek terisak seperti menangis dan tidak menjawab.
“ Nenek kenapa? Kok menangis?”
“ Dea yang sabar ya?” sedikit menangis. “ Ayah kamu mengalami kecelakaan tapi nyawanya tak tertolong. Ayah kamu sudah meninggal.”
Aku tak menjawab dan menjatuhkan telepon. Rasanya persendianku sangat sakit dan kakiku seakan  tak kuat untuk berdiri hingga akhirnya aku terjatuh. Ibu melihatku dan menghampiriku. “ Dea kenapa?” dengan khawatir dia bertanya kepadaku.
------------*-----------
Aku menangis tersendu – sendu didepan zenazah ayah. Disaat aku sedang sakit Ayah pergi meninggalkanku selama – lamanya. Sambil terisak aku memanggil. “ Ayah, jangan pergi!” kemudian menangis lagi. Ibu memelukku. “ Dea, jangan nangis lebih baik Dea ngaji buat Ayah.” Sambil menitihkan air mata Ibu mencoba menghiburku. Cobaan ini terus datang bertubi – tubi menimpaku.
------------*-----------
Beberapa bulan telah berlalu...
Hari ini aku janji ketemu Reza dibelakang taman sekolah. Hari ini terasa sngat neh bagiku. Aku merasa hari ini hari terakhir bagiku. Aku dan Reza duduk berdua ditaman.
“ Za, makasih ya uda jadi teman yang baik bagiku.”
“ Iya. Kok lo ngomongnya gitu? Kayak mau pergi aja.”
“ Aku rasa aku memang mau pergi. Za aku titip salam buat Ibu.”
“ Maksudnya apa sih De? Ngomongnya ngelantur gitu?”
“ Sekali lagi aku sayang kalian semua.”
Setelah itu tubuhku terasa sangat lemah, lalu aku bersandar dibahu Reza dan akhirnya jantungku berhenti berdetak dan nafasku berhenti disandaran bahu Reza.

= TAMAT =
* Mohon maaf bila ada salah dalam pengetikan, terima kasih.

PERHATIAN!!
Jika hendak mengcopy-paste cerpen ini dari blog ini, mohon disertakan sumbernya dari http://bosemga.blogspot.com  . dan cerpen ini bukan saya yang membuatnya tapi teman saya yang bernama : FARADILLA TSANIYAH, dan saya disini untuk mempublikasikannya.
       Terima Kasih Telah Berkunjung...

0 komentar:

Post a Comment

Tolong berkomentar dengan baik dan sopan.
Terima Kasih

Advertisement