“ Hay, aku Reza. Kelas IX A. Kamu menangis kenapa?”
“ Aku tak apa-apa. Kamu kelas IX A aku baru lihat
kamu?”
“ Karena kamu jarang main ke kelas IX. Jadi kamu
baru tau aku.”
Tiba – tiba dadaku rasanya sakit sekali, kepalaku
pusing, hidungku mimisan. Waktu aku mencoba berdiri aku merasa persendianku
kaku. Reza mencoba menolongku. Tapi mataku mulai gelap dan tak melihat apa –
apa lagi. Saat aku sadar aku sudah berada di Rumah Sakit dengan impus
ditanganku serta oksigen yang terpasang dihidungku. Ayah dan Ibu berada
disamping kananku menanti dengan harap – harap cemas. Ingin rasanya aku bicara
tapi ada yang aneh saat ingin bicara tenggorokanku sakit sekali. Aku mencoba
memanggil ibu dengan lirih.
“ Ibu...” seketika air mataku jatuh.
“ Dea. Kenapa Dea menangis?” Bertanya dengan cemas.
“ Ibu... sakit.” Sambil memegang tenggorokanku.
“ Iya sebentar Ibu panggilin dokter.”
Ayah juga terlihat sangat cemas. Melihat kondisiku
dengan wajah pucat dan bibirku yang kering. Dia memelukku dengan erat. Ku lihat
wajah Ayah dan saat itu juga air mata ayah jatuh. Ya Tuhan apakah Ayah
menangis? Tak lama dokter pun datang lalu Ayah merebahkan tubuhku kembali. Dokter
memeriksaku setelah selesai dokter meminta Ayah untuk keruangannya.
“ Silahkan duduk pak Dito.”
“ Iya, dok. Sebenarnya anak saya sakit apa ya dok?”
“ Yang sabar ya pak. Anak bapak mengidap penyakit
radang paru – paru.”
“ Astagfirulah. Deandra...”
Perasaan ayah seperti berkecamuk mendengar
penjelasan dari Dokter. Saat masuk keruanganku. Wajah ayah terlihat sangat cemas.
Langkahnya seperti orang bimbang. Dia mengajak Ibu berbicara diluar agar aku
tak dengar. Setelah mendengar penjelasan dari Ayah, tingkah laku Ibu menjadi
sama seperti Ayah. Aku mencoba bertanya pada Ibu.
“ Ibu.”
“ Ia sayang. Ada apa?”
“ Dea sakit apa? Kenapa Ayah dan Ibu terlihat cemas?”
“ Dea gak apa –apa kok. 2 hari lagi juga uda pulang.
Sekarang Dea istirahat ya.”
Pagi ini Reza datang menjengukku. Dia membawakanku
buah dan bilang “ Cepat sembuh ya.” Dia langsung duduk disampingku. Sosok Reza
sangat perhatian, dia menanyakan aku sakit apa, uda minum obat belum dan
candanya membuat aku senyum. Aneh rasanya, aku baru mengenalnya kemarin tapi
terasa sangat akrab dengan Reza.
“ De, lo kapan pulang?”
“ Besok, kata dokter.”
“ Oh, lo mau makan buah, gue kupasin ya.”
“ Boleh.”
Tak hanya mengupaskan buah untukku dia juga
menyuapiku. “ Reza, makasih ya sudah nolongin gue.” Mengucapkan terima kasih. “
Sama – sama, lo kok tau gue yang bawa lo ke RS?”. “ Ibu yang bilang.”
Seharian Reza nemenin aku di RS, kami bercanda dan
tertawa. Kehadiran Reza sedikit membuatku lupa dengan semua masalah yang
menimpaku. Ibu dari tadi belum datang dan Ayah juga. Apa mungkin mereka lagi
sibuk. Uda jam 15.00 WIB. Reza pamit untuk pulang karena uda sore.
“ Gue balik ya De. Uda sore... besok gue dateng
lagi!”
“ Ya makasih ya Za... tapi besokkan aku uda pulang.”
“ Yauda besok gue datang kerumah lo aja. Bye.”
“ Bye.”
Uda hampir maghrib tapi Ibu sama Ayah belum datang
juga. Kemana sih mereka? Uda tau anaknya sakit bukannya di jenguk malah sibuk
sendiri. Mereka sayang gak sih sama aku? Tak berapa lama Ibu datang sendirian
tanpa Ayah. “ Maaf ya De, Ibu tadi
banyak urusan. Kamu uda makan?”
kelihatannya Ibu lelah banget, meski dia lelah tapi dia seolah tak ingin aku
mengetahuinya.
“ Ditanya kok malah bengong.” Ibu menyadarkan ku
dari lamunan.
“ Uda, tadi Reza kemari. Dia yang nemeni aku
seharian.”
“ Sorry ya De. Ibu tadi banyak urusan. Tapi bukan
maksud Ibu biarin kamu sendirian.”
“ Emang penting banget urusannya dari pada aku?”
“ Jangan marah dong De. Tadi Ibu ngurus surat cerai.”
Aku hanya diam saja mendengar jawaban Ibu. Mereka
tetap akan bercerai, mereka tetap tak peduli walaupun aku lagi sakit. Besok
sidang perceraian akan berlangsung. Aku gak tau mesti ikut siapa nantinya...
Kata Dokter besok siang aku sudah boleh pulang tapi harus Cek Up seminggu
sekali. Aku bingung, sebenarnya apa penyakitku? Ibu tak pernah memberitahuku. Cukup
berat bagiku untuk menghadapi ini semua.
------------*-----------
Jam 08.30 WIB. Ibu pergi menghadiri persidangan. “
Dea, Ibu pergi ya.” Aku hanya mengangguk.
Aku bosen dikamar terus. Aku ingin keluar, waktu
suster dateng untuk mengecek ku. Aku minta dolong sama dia. “ Suster, aku
pengen keluar. Bosen disini terus.” “ Yauda, sini suster bantu.” “ Makasih,
Sus.” Suster mengantarkanku ke taman. Aku memintanya untuk meninggalkan
kusendiri disini, dia mengiyakan. “ Nanti kalau ada apa – apa. Suster ada di
ruangan sebelah sana.” “ Iya sus.” Di taman aku menyendiri tak ada orang
satupun. Air mataku pun jatuh aku menangis sekuatnya disini.
“ Kenapa hars begini? Kenapa harus aku? Ini gak adil
bagiku! Tuhan... kenapa harus aku yang merasakan ini. Kapan aku bisa bahagia?”
Tanya ku dalam hati.
Tak henti – hentinya aku menangis meratapi nasibku. Suster
menghampiriku. “ Dea, nenek kamu dateng menjemputmu. Ayo suster antar keruangan
kamu.” “ Iya, sus.” Siang ini aku pulang kerumah. Tapi bukan Mama yang
menjemputku melainkan nenekku.
Sampai dirumah dia membaringkan ku dikamar. “ Dea
tunggu disini dulu. Nenek mau masak sup buat kamu.”
Tok... tok... tok... “ Sebentar ya, nenek tolong
buka kan pintu.” Ternyata Reza yang datang nenek menyuruhnya masuk. “ Dea ada
dikamarnya.” Reza kemudian mengetok pintu kamarku. Kemudian dia masuk. Dia
membawakanku buah. Lalu kami bercerita – cerita.
Persidangan telah selesai hak asuh jatuh kepada Ibu.
Sedangkan Ayah tinggal dirumah nenek. Sekarang aku tinggal dengan Ibu. Selesai
persidangan Ayah menjengukku dirumah. Dia bilang samaku. Ayah akan tetap datang
menemuiku. Itu bisa membuatku tenang.
------------*-----------
Berapa minggu telah berlalu ....
Jam 06.30 WIB. Aku bangun untuk mandi kemudian
menyisir rambutku. Saat aku berkaca, tiba-tiba foto ku dngan ayah jatuh dan
pecah. Perasaanku mulai resah dan gelisah.
Telepon rumah berbunyi “ Dea, tolong angkatkan
teleponnya.” Aku kemudian turun kebawah untuk mengangkat telepon. Ternyata dari
nenek.
“ Halo, ada apa nek?” suara nenek terisak seperti
menangis dan tidak menjawab.
“ Nenek kenapa? Kok menangis?”
“ Dea yang sabar ya?” sedikit menangis. “ Ayah kamu
mengalami kecelakaan tapi nyawanya tak tertolong. Ayah kamu sudah meninggal.”
Aku tak menjawab dan menjatuhkan telepon. Rasanya
persendianku sangat sakit dan kakiku seakan
tak kuat untuk berdiri hingga akhirnya aku terjatuh. Ibu melihatku dan
menghampiriku. “ Dea kenapa?” dengan khawatir dia bertanya kepadaku.
------------*-----------
Aku menangis tersendu – sendu didepan zenazah ayah. Disaat
aku sedang sakit Ayah pergi meninggalkanku selama – lamanya. Sambil terisak aku
memanggil. “ Ayah, jangan pergi!” kemudian menangis lagi. Ibu memelukku. “ Dea,
jangan nangis lebih baik Dea ngaji buat Ayah.” Sambil menitihkan air mata Ibu
mencoba menghiburku. Cobaan ini terus datang bertubi – tubi menimpaku.
------------*-----------
Beberapa bulan telah berlalu...
Hari ini aku janji ketemu Reza dibelakang taman
sekolah. Hari ini terasa sngat neh bagiku. Aku merasa hari ini hari terakhir
bagiku. Aku dan Reza duduk berdua ditaman.
“ Za, makasih ya uda jadi teman yang baik bagiku.”
“ Iya. Kok lo ngomongnya gitu? Kayak mau pergi aja.”
“ Aku rasa aku memang mau pergi. Za aku titip salam
buat Ibu.”
“ Maksudnya apa sih De? Ngomongnya ngelantur gitu?”
“ Sekali lagi aku sayang kalian semua.”
Setelah itu tubuhku terasa sangat lemah, lalu aku
bersandar dibahu Reza dan akhirnya jantungku berhenti berdetak dan nafasku
berhenti disandaran bahu Reza.
= TAMAT =
*
Mohon maaf bila ada salah dalam pengetikan, terima kasih.
PERHATIAN!!
Jika
hendak mengcopy-paste cerpen ini dari blog ini, mohon disertakan sumbernya dari
http://bosemga.blogspot.com . dan cerpen ini
bukan saya yang membuatnya tapi teman saya yang bernama : FARADILLA TSANIYAH,
dan saya disini untuk mempublikasikannya.
Terima Kasih Telah Berkunjung...